Benarkah Land Subsidence Terjadi di Belawan

Editor: MARITIMONLINE.COM

MARITIMONLINE.COM-Banjir Rob yang beberapa Tahun belakangan ini menjadi ancaman bagi masyarakat Belawan. Banyak kerugian yang ditimbulkan akibat banjir Rob ini, terutama rusaknya kendaraan dan harta benda lainnya. Namun sampai saat ini belum terlihat upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Apakah Medan sudah tidak memiliki orang ahli untuk bisa mengatasi masalah banjir Rob di Belawan ini.

Pagi ini Senin, (25/10/21) saya tertarik atas " Dialog Lintas Medan Pagi " yang diadakan oleh radio Pro 1 RRI dengan judul " Mencari Solusi Kuala Deli". Ada 3 pakar sesuai keilmuannya yang di undang oleh RRI. Diantaranya : 

1.Rakhai Chairil Chaniago, Tokoh Muda, Aktivis, Sarjana Pertambangan, Ketua Forum Anak Belawan Bersatu (FABB) serta asli Putra Belawan.

2.Ir. Jaya Arjuna M.Sc, Aktivis Lingkungan hidup yang analisanya tidak terbantahkan, Mantan Dosen di USU serta Wakil Ketua DPD HNSI Sumut Bidang Lingkungan Hidup.

3.Prof. Muslim Muin pakar Kelautan ITB. 



Ditemani secangkir kopi dan rokok sampoerna, Saya asyik mendengarkan dialog ke 3 Pakar tadi di chanel radio RRI. Ke 3 Pakar menyampaikan kajiannya dengan begitu lugas dan semangat. Namun ada yang menggelitik saya terkait kajian dari seorang Prof dari ITB tadi. Beliau mengatakan kalau di Belawan telah terjadi Land Subsidence (Turunnya Permukaan Tanah). Sehingga bukan hanya Belawan yang mengalami banjir Rob di Dunia ini. Jadi perlu membuat tanggul dan pintu air yang bisa dibuka tutup serta menempatkan pompa air yang bisa di fungsikan untuk memompa air ke Laut kalau ada kiriman air dari darat (Hujan).

Analisa ini dibantah oleh Rakhai dan Prof ini diminta menunjukkan bukti Belawan telah terjadi Land Subsidence. Profesor tadi tidak bisa memberikan atau membacakan data Geologi maupun data Geodesi yang diminta Rakhai. Seorang Professor Geologi tidak layak memutuskan atau memastikan sebuah persoalan kebumian hanya berdasarkan literatur saja. Pedas kritikan yang disampaikan Rakhai dalam dialog pagi tadi.


Disampaikan Rakhai Belawan butuh area sebaran air pasang untuk menampung air pasang Rob. Selain itu Rakhai juga meminta penertiban atas alih fungsi hutan mangrove menjadi hutan produksi. Banyak hutan mangrove sekarang yang menjadi tapak industri, tambak dan kebun sawit. Ini banyak didapati di sepanjang Belawan dan sekitarnya menurut Rakhai. 



Pengamat Lingkungan Hidup, Jaya Arjuna memaparkan kalau mengatasi masalah banjir Rob sangat sederhana. Menurutnya Kuala Deli (Muara Sei Deli) itu berbentuk kuali dengan luas 350 Ha dengan kedalaman 15 Mtr. Dulunya wilayah itu mampu menampung debit air dari Sei Pegatalan dan Sei Deli. Sehingga banjir tidak sempai menggenangi pemukiman masyarakat. Sekarang kuali (Kuala Deli) tersebut telah hilang dan menjadi Beting Barai. Sudah barang tentu wilayah tampungan air itu sdh hilang dan menyebabkan air memasuki pemukiman warga. Pendangkalan itu terjadi karena sendimen yang menutupi Kuala Deli dan juga waktu pengerjaan pembangunan benteng Sei Deli di Tahun 1987 dan selesai di Tahun 1993, akibat pengelolaan tanah yang tidak tepat untuk dijadikan benteng Sei Deli itu. Sehingga banyak tanah yang hanyut dan menutupi muara Sei Deli itu Sendiri.

Dari dialog ke 3 pakar ini, pertanyaannya sudah sampai sejauh mana peran Badan Wilayah Sungai (BWS) menjalankan fungsinya. Rasanya tidak mungkin persoalan masyarakat Belawan ini tidak bisa diselesaikan. Sudah sepantasnya pemerintah dalam hal ini Pemko Medan dan BWS mau mengundang pakar-pakar ini untuk berdiskusi menyelesaikan derita masyarakat Belawan terkait banjir Rob ini. Karena masyarakat Belawan punya pengaruh terkait kemajuan dari Kota Medan.


(MO/DIAN)

Share:
Komentar

Berita Terkini