Kenaikan BBM dan Penderitaan Nelayan

Editor: MARITIMONLINE.COM


MARITMONLINE.COM-MEDAN -Sempat menjadi wacana pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi beberapa pekan lalu. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Upaya meredam gejolak yang timbul di tengah masyarakat, Pemerintah menyalurkan kompensasi bantuan sosial bagi masyarakat kelas bawah.


Pemerintah mengemukakan Dua alasan sebagai dasar kebijakan menaikan harga BBM subsidi. Alasan pertama BBM bersubsidi membebani anggaran negara,  Dan alasan kedua tidak tepat sasaran. Kedua alasan ini bisa dikatakan "lagu usang" yang selalu dipakai pemerintah sejak Indonesia menjadi pengimpor minyak terbesar ketimbang pengekspor minyak dari negara-negara yang lain.


Anggaran negara terbebani dengan subsidi BBM tidak sepenuhnya benar. Kenaikan anggaran subsidi yang dilempar ke publik meningkat hingga tiga kali lipat, dari Rp.152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun, tidak seluruhnya akibat kenaikan harga minyak dunia. Jika dilihat lebih jauh, kenaikan terbesar justru berasal dari dana kompensasi Rp 275 triliun dibandingkan anggaran subsidi energi.


Dana kompensasi adalah dana yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada badan usaha ditugaskan untuk mengadakan dan mendistribusikan BBM. Di mana pemerintah harus membayarkan selisih harga penetapan pemerintah dengan harga keekonomian BBM.


Menurut hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, pemerintah belum membayar dana kompensasi kepada badan usaha distribusi BBM sebesar Rp 104,7 triliun yang terakumulasi sejak 2019. Artinya, jika pemerintah disiplin anggaran dengan membayar kompensasi secara penuh setiap tahunnya, dana kompensasi tidak akan sebesar yang dialokasikan tahun ini.


Penggunaan anggaran untuk subsidi BBM menjadi beban APBN juga tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan Perpres 98 Tahun 2022 tentang Perubahan Penjabaran APBN 2022, Alokasi subsidi energi terbesar justru untuk subsidi gas elpiji 3 kg sebesar Rp 134 triliun atau 64% dari total anggaran subsidi. Sementara subsidi BBM hanya Rp 14,5 triliun atau tidak lebih dari 7% anggaran subsidi.


Keterangan diatas justru membantah argumen subsidi BBM membebani anggaran, namun pemerintah justru hanya melakukan penyesuaian atau kenaikan harga BBM. Pemerintah juga berargumen, BBM bersubsidi harus disesuaikan karena lebih banyak dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Pernyataan ini justru mengkonfirmasi kegagalan pemerintah tidak mampu membangun sistem pengendalian distribusi BBM bersubsidi yang tepat sasaran.


Berbicara soal kenaikan menjadi penderitaan bagi nelayan sangat jelas terlihat dan terasa saat ini. Kondisi dilapangan saat ini lebih kurang 80% nelayan membeli BBM di agen atau pengecer yang barang tentu harganya lebih tinggi dari BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar.


Tentunya kenaikan harga BBM menjadikan harga dieceran menjadi lebih tinggi. Hal ini menjadi berkurangnya pendapatan nelayan, Akibat tingginya biaya BBM untuk berangkat melaut.


Minimnya akses nelayan terhadap BBM bersubsidi ini disebabkan birokrasi akses dan ketiadaan infrastruktur pengisian BBM. Berdasarkan Perpres 191 tahun 2014, untuk mengakses BBM bersubsidi nelayan harus memiliki surat rekomendasi dari pemerintah daerah setempat. 


Surat rekomendasi ini harus diurus setiap Bulannya. Sementara untuk membuat rekomendasi, nelayan harus memiliki izin melaut (pas kecil) dan bukti pencatatan kapal (BPKP) yang dikeluarkan pihak Dinas Perhubungan Laut.


Masalahnya, kebanyakan pemukiman nelayan jauh dari akses pelayanan publik. Kalaupun berhasil mendapatkan surat rekomendasi, nelayan kecil harus bertarung untuk mendapatkan BBM bersubsidi dengan nelayan besar dan sektor-sektor lain yang berhak menerima BBM bersubsidi. Sementara kendaraan pribadi bermesin diesel dapat membeli solar bersubsidi tanpa ada syarat administrasi yang rumit.


Diskriminasi akses terhadap nelayan kecil terlihat terjadi disini yang menyebabkan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran dan dinikmati masyarakat mampu. 


Rendahnya akses nelayan kecil terhadap BBM bersubsidi juga disebabkan rendahnya ketersediaan akses stasiun pengisian BBM di pemukiman-pemukiman nelayan. Ketersediaan stasiun pengisian BBM untuk nelayan (SPDN) hanya 3% atau 374 unit.


Data realisasi kuota solar untuk sektor perikanan dalam 5 tahun terakhir hanya 26%. Sementara sisanya diserap oleh sektor lain seperti transportasi darat, termasuk mobil pribadi. 


Pemerintah kedepannya harus segera mempercepat reformasi BBM bersubsidi, baik dari sisi tata kelola anggaran maupun ketepatan penerima sasaran. dalam konteks tata kelola anggaran, alokasi dana kompensasi dalam belanja lain-lain harus dihapuskan karena tidak akuntabel dan memiliki resiko fiskal yang tinggi.


Semoga derita dan nestapa nelayan segera bisa terselesaikan dengan program yang dibuat pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang bersifat pro nelayan.


(MO/DIAN)



Share:
Komentar

Berita Terkini