Nelayan Kepiting Bakau Sumut Dalam Ancaman Mafia Bisnis Dan Pencemaran Lingkungan

Editor: MARITIMONLINE.COM


MARITIMONLINE.COM-SUMUT-Makin berat tekanan terhadap kehidupan nelayan tradisional Sumut. Masalah BBM belum selesai, muncul lagi pembatasan kepiting dengan lebar karapas diatas 12 cm, serta penangkapan wajib menggunakan alat penangkapan bersifat pasif dan ramah lingkungan. Masalah bisnis kepiting ini juga dikuasai dua mafia yang sangat kuat kekuasaannya. 

Terakhir ini muncul lagi masalah beredarnya ikan impor di pasar tradisional. Permasalahan yang dihadapi nelayan tradisional Sumut ini dikemukakan oleh Ketua DPD HNSI Sumatera Utara Zulfahri Siagian setelah acara dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Sumatera Utara, Rabu (21/12/2022). 

Komisi B DPRD Sumatera Utara mengundang pihak Nelayan, terkait dengan keluarnya Permen Kalautan dan Perikanan yang membatasi penangkapan Kepiting Bakau. Pertemuan ini dihadiri oleh Dinas Kelautan dan Perikanan PropSU, DPD HNSI Sumut, DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Medan serta Aliansi Nelayan Bakau Sumut. Pada pertemuan  terungkap bahwa sampai saat ini bibit kepiting masih sangat tergantung dari alam. Beberapa usaha pembibitan di Sumut yang dilakukan ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. 

Kepiting termasuk unik karena menetas di laut dalam dan perbesaran di laut dangkal dan berlumpur. Habitat yang paling cocok adalah dalam kawasan hutan bakau. Sangkot dari Aliansi Nelayan Bakau mengungkapkan bahwa bila hutan bakaunya bagus, maka nelayan akan bisa makmur hidupnya dari penangkapan Kepiting. Kepiting memiliki harga yang cukup bagus karena banyak diminati konsumen. Daging Kepiting memiliki kandungan asam lemak Omega-3 untuk kesehatan otak dan jantung. Kepiting juga mengandung asam folat, vitamin B kompleks dan mineral

Para Nelayan mencemaskan masa depan kepiting karena bibit makin sulit didapat. Mangrove sebagai habitat pembesaran kepiting luasannya juga makin menyusut. Areal pembesaran kepiting ini juga menghadapi ancaman pencemaran lingkungan dari industry yang membuang limbahnya ke perairan. Pihak Pemrintah Propinsi diminta untuk mengevaluasi system pengolahan limbah dari industry sumber pencemar. Apakah memiliki IPAL dengan kapasitas yang sesuai dengan volume dan kandungan limbahnya, serta apakah dioperasikan dengan baik secara kontinu.  

Jaya Arjuna, pengamat lingkungan dan Wakil Ketua Bidang Lingkungan HNSI Sumut yang menghadiri RDP tersebut menyatakan bahwa Sumatera Utara perlu menetapkan kawasan konservasi yang mencakup areal pendederan dan pembesaran Kepiting.  Selain kepiting, kerang juga perlu dibudidayakan secara lebih serius, karena selama ini permintaan pasar yang cukup besar belum terpenuhi oleh nelayan.  Jaya juga mengatakan bahwa dulu terdapat 21 jenis kerang yang disajikan pedagang kerang rebus, dan sekarang hanya tinggal sepuluh jenis. 


(JA)


,




Share:
Komentar

Berita Terkini